Cara Pandang Islam Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Tamim Ansary dalam bukunya Destiny Disrupted mengungkapkan tesis menarik: “Terobosan teknologi itu hanyalah salah satu unsur keberhasilan revolusi industri. Konteks sosial justru lebih menentukan apakah revolusi itu bisa lepas-landas.”

Mesin uap, sebagai contoh, sudah digunakan di Turki tiga abad sebelum kemunculannya di barat(berdasar buku yang ditulis oleh insinyur Turki Taqi Al Din tahun 1551). Cina, sejak abad 10 juga sudah memiliki semua yang diperlukan untuk membangun mekanisasi produksi yang menghemat tenaga kerja manusia. Tapi konteks sosial dua negeri ini adalah ketersediaan manusia yang melimpah. Pemerintah Cina akan mempunyai persoalan besar jika rakyatnya sebagian besar tidak bisa bekerja. Dan peradaban Turki saat itu tidak memerlukan mekanisasi industri, karena barang konsumsi sudah melimpah yang dikerjakan oleh jutaan pengrajin trampil yang terdistribusi dalam jaringan perdagangan yang rapi dan efisien. Zona nyaman, mungkin bahasa sederhananya, atau kalau meminjam istilah mark Elvin: high-level equilibrium trap…

Di Eropa, sejak mengenal mesin uap, yang berevolusi menjadi pompa tenaga uap hingga lokomotif, para pengusaha swasta, menjadikannya faktor kompetitif yang sangat menentukan keberhasilan perdagangan. Jika memiliki modal anda bisa mengadakan mesin yang bisa membuat barang barang secara jauh lebih efisien dan dalam jumlah besar akan jauh lebih murah. Sederhananya penemuan ini berkorelasi langsung dengan pendapatan dan kekayaan. Mereka sadar bahwa alat-alat ini akan membuat banyak seniman dan pengrajin kehilangan pekerjaan. Tapi inilah perbedaan konteks sosial di eropa: di samping ketersediaan tenaga kerja tidak terlalu melimpah, para pengusaha swasta tidak punya tanggung jawab langsung dengan mereka yang kehilangan pekerjaan ini. Mereka juga tidak memiliki ikatan sosial yang mengikat seperti kekerabatan suku atau semacam pesantren misalnya.

Hal ini seharusnya membuat kita berpikir, sejauh apakah buah dari revolusi industri ini? Jika kita berpikir tentang bagaimana revolusi industri membawa beberapa orang menjadi sangat kaya, peradaban barat kemudian ‘mendominasi’ dunia, mungkin mudah disimpulkan bahwa revolusi industri di barat sukses besar. Tapi, sejauh apa kita mau berkorban untuk itu? Revolusi Industri ke-3 tidak hanya memperkenalkan mesin, tetapi juga secara tidak langsung mengkampanyekan individualisme. Orang mulai migrasi dari desa ke kota, jaringan keluarga besar dan hubungan interpersonal mulai melemah, dan seringkali beberapa hal ‘manusiawi’ seperti agama, keluarga, dan persahabatan harus ‘mengalah’ demi mesin dan ‘pekerjaan’. 

Konteks sosial ini harusnya juga jadi kajian di tengah Revolusi Industri ke 4.  Indonesia sampai sekarang tenaga kerjanya masih didominasi oleh unskilled labour yang jumlahnya sangat melimpah. Padahal, kemajuan teknologi saat ini, sangat berpotensi mengambil alih jenis pekerjaan mereka. Belum lagi membahas kajian bagaimana teknologi sudah melakukan ‘mekanisasi’ kemanusiaan, ketika empati dan ikatan hanya diterjemahkan sebagai like dan comment misalnya. Jika abai dengan konteks sosial ini, kita lebih berpotensi jadi korban revolusi daripada pemenang, bahkan tanpa kita menyadarinya. 

Jangan salah, tulisan ini bukan berarti kita harus menjauhi teknologi atau semua yang berbau asing. Tidak, menurut saya kita tetap harus belajar sebanyak-banyaknya. Tapi selagi melakukannya, harus ada mereka yang memperhatikan aspek sosial ini, mengingatkan ketika lupa, dan mengantisipasi berbaga macam resiko yang ada. 

saya masih berharap dan percaya bahwa kita pada masanya akan bisa menjadi bangsa “maker” yang lebih dikenal dengan ‘karya’ nya, bukan ‘drama’ nya. Bangsa yang aktif bekerja, banyak ekspornya, atau setidaknya swasembada, bukan importir atau konsumen setia. Bangsa yang semangatnya lebih kepada “ kalo bisa buat sendiri kenapa beli”, bukan “kalo masih bisa beli kenapa buat sendiri” Dan, ketika melakukannya, setidaknya kita tidak mengorbankan nilai-nilai ‘Indonesia’ kita. Masih berketuhanan, dan masih manusia…

Idham Ananta


Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Cara Pandang Islam Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel