Cara Menyikapi Percepatan Waktu dengan Baik
Tak ada salahnya jadi kura-kura.
Kadang saya sering bertanya, apabila waktu untuk mengerjakan sebuah ujian nasional misalnya, ditambah secara signifikan, 2, 4, atau mungkin 10 kali lipat lebih lama, apakah urutan ranking pesertanya akan berubah dengan versi aslinya? Sederhananya mereka yang tadinya tidak bisa menjawab soal karena kehabisan waktu, akan bisa menjawabnya, dan bahkan mungkin diantara mereka ada yang nilainya lebih baik ketika bertemu dengan kasus yang tidak ada rumus praktisnya...
Pertanyaannya kemudian adalah, kenapa kita lebih condong mengapresiasi mereka yang menjawab lebih cepat? Bahkan menjadikannya sebagai metode seleksi untuk memasuki sekolah elit misalnya. Boleh saja ada yang beralasan bahwa yang lebih cepat pasti lebih hebat, tapi betulkah selalu demikian?
Waktu KKN saya pernah diminta melatih seorang siswi tenis meja karena mau ikut lomba. Saya bukan atlet tapi tahu sedikit tentang satu dua trik di meja ping-pong. Tapi siswi satu ini ‘lambat’ untuk menguasai beberapa trik aneh saya. Akhirnya kami kembali ke dasar, dan hanya belajar satu pukulan back hand sederhana, asal kembali saja bolanya. Saya target setidaknya dia harus bisa mengembalikan bola dengan satu teknik itu 15 kali tanpa gagal. Kalo gagal harus diulang. Dia hampir tidak pernah mencapainya. Tapi melihat kegigihannya saya tidak tega menghentikannya. Dan kami terus berlatih, walaupun akhirnya hanya berlangsung beberapa hari saja. Hasilnya? dia juara tingkat kecamatan.
Kadang-kadang, yang lama dan membosankan, justru akan melahirkan kebiasaan yang efektif yang lebih menentukan keberhasilan. Terlihat keren, cepat, agresif, fantastis, bisa jadi jadi biang kegagalan, karena mengorbankan kualitas demi kecepatan. Kalau dalam sepakbola dikenal istilah memiliki penyerang hebat akan membuat anda memenangkan pertandingan, tapi memiliki pertahanan kuat akan membuat anda juara. Ada beberapa posisi memang yang mensyaratkan kecepatan, tetapi ada banyak hal pula yang lebih baik dilakukan secara hati-hati, teliti, kosentrasi, dan penuh kontemplasi.
Model pendidikan yang terlalu mengutamakan kecepatan di atas kesabaran akan menghasilkan generasi instan. Generasi yang merasa sudah membaca ketika membeli bukunya, merasa sudah siap ujian ketika membawa salinan power pointnya, merasa sudah menguasai persoalan ketika sudah mendownload papernya, merasa sudah membuat perubahan hanya dengan beberapa tweet saja. Kenapa tahu banyak? ya, karena saya merasa seperti bagian dari mereka. Rasanya seperti kelinci, yang suka melompat-lompat, tapi tidak pernah pergi jauh dari tempat asalnya.
Generasi instan sudah terlalu banyak menghasilkan ‘polusi’ baik di dunia nyata maupun dunia maya. Banyak proyek, gerakan, atau karya yang terlihat heboh di awalnya tapi kenyataannya hanyalah produk serba instan, serba nanggung dan tak memiliki cukup unsur pembeda maupun manfaat yang bertahan lama. Hal ini disebabkan bukan karena kurang ide, kurang cerdas atau kurang sumber daya, akan tapi kurang memiliki cukup stamina untuk bekerja dan bertahan lebih lama.
Di sinilah kita perlu lebih menghargai mereka yang sekilas tampak seperti kura-kura. Mereka tak ragu berlelah-lelah walau kelihatan panjang perjalannya. Langkahnya kecil, tapi pasti. Terlihat pelan, tapi terus berjalan. Mereka tak ragu berkelana, tahan segala cuaca, dan memiliki cukup waktu untuk berkontemplasi dan merajut banyak makna.
Jika amanahnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, seharusnya kita memilki perhatian yang sama kepada kelinci dan kura kura. Jangan sampai kita melapangkan jalan mereka yang dianggap lebih cepat saja, tapi secara tidak sadar membuat sebagian lain frustasi karena dipaksa melakukan sesuatu yang memang ‘belum waktunya’. Bukannya mencerdaskan itu berarti membimbing, menemani dengan sabar, dan membuat arahan yang tepat dengan timing masing-masing mereka? bukan memaksakan kurikulum kelinci kepada kura-kura atau sebaliknya…
Idham Ananta
0 Response to "Cara Menyikapi Percepatan Waktu dengan Baik "
Post a Comment