Memaknai dan Meneladani Hijrah Nabi

๐Ÿƒ๐ŸƒBelajar dari Hijrah Nabi๐Ÿƒ๐Ÿƒ

๐Ÿ‚๐Ÿ‚Umar bin Khatthab -radliyallahu 'anhu- menetapkan hijrah Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- ke Madinah sebagai awal kalender hijriyah. Khalifah kedua itu tidak menjadikan kelahiran Nabi sebagai awal penanggalan muslimin, seperti yang dilakukan oleh Ahli al Kitab yang menetapkan kelahiran Isa sebagai tonggak Masehi (miladiyah). Ijtihad Umar ini memberi inspirasi bahwa umat Muhammad adalah ummatu 'amalin, umat kerja, yang eksistensinya ditandai oleh karya dan sumbangsih. Maka, zaman tak berarti tanpa karya dan kontribusi.

๐Ÿ‚๐Ÿ‚Hijrah ke Madinah menandai puncak resiliensi. Bahwa umat Muhammad adalah umat yang memiliki kemampuan untuk beradaptasi menghadapi tekanan dan situasi sulit. Mereka tetap teguh mendampingi Rasulullah, meskipun dalam tekanan yang bertubi-tubi.
Generasi awal Islam ini memiliki regulasi emosi yang luar biasa.

๐Ÿƒ Khabbab bin Arts -radliyallahu 'anhu- ketika mengadu tentang beratnya tekanan Quraisy, Rasulullah justru mengingatkan kondisi umat terdahulu yang mengalami siksa lebih berat. Nabi memberi contoh sekaligus menanamkan kemampuan tetap tenang dalam situasi tekanan.

๐ŸƒHijrah mengajarkan aspek lain dari resilensi; bagaimana mengendalikan keinginan, dorongan, syahwat (keinginan) diri, serta tekanan yang muncul dalam diri. Melalui konsep niat, pengendalian impuls itu dibangun. Rasulullah mengingatkan 'Muhajir Ummi Qais' agar mendasari hijrahnya dengan lillahi wa li rasulihi (HR. Bukhari), bukan karena dunia atau wanita yang hendak dinikahi.
Ikhlas niat akan meringankan masalah, sedang ketidakikhlasan justru akan melahirkan masalah baru: benci, tidak suka, dendam, dan sebagainya.

๐ŸƒHijrah itu puncak optimisme. Ada harapan pada masa depan, dan percaya bahwa arah hidup akan mampu dikendalikan. Rasulullah dan sahabat tak putus asa meskipun tekanan bertubi-tubi silih berganti. Ketika Mekkah buntu, ada harapan di Habasyah. Ketika penduduk Thaif bersikap sama dengan pembesar Quraisy, Rasulullah mencari peluang di hati orang-orang Yatsrib yang berhaji di Mekkah. Optimisme tinggi.

๐ŸƒHijrah mampu menuai empati warga Anshar yang sangat mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi Muhajirin. Penduduk Madinah siap menyediakan lahan yang subur untuk dakwah Nabi. Penduduk Anshar membuka hati bahkan apa saja yang dibutuhkan Nabi dan Muhajirin. Empati yang luar biasa hingga Saad bin Rabi' menawarkan sebagian harta dan salah satu istrinya untuk Abdurrahman bin Auf.

๐ŸƒHijrah mengajarkan efikasi diri. Bahwa individu- individu, Nabi dan Sahabat, meyakini bahwa diri merupakan elemen penting dalam menyelesaikan masalah dakwah. Tiga belas tahun di Mekkah, bertahan menghadapi tantangan, tidak mengandalkan 'kun fa yakun'. Tapi, semua bermujahadah keluar dari masalah hingga Allah -ta'ala- menunjukkan jalan-Nya.

๐ŸƒRasulullah dan para sahabat mengambil langkah hijrah dengan mengorbankan risiko dunawi guna meraih bahagia ukhrawi. Ternyata, saat risiko akhirat dijaga dengan baik, maka risiko dunia bisa diminimalisir, bahkan Yatsrib menjadi Madinah Munawwarah, kota (peradaban) yang tercerahkan.

Ayo hijrah. Ayo move on!

Wallahu a'lam bisshawab

๐Ÿƒ๐Ÿƒ๐Ÿƒ๐Ÿ’ ๐Ÿ“๐Ÿ’ ๐Ÿƒ๐Ÿƒ๐Ÿƒ
Malang, 5 Muharram 1440H
๐Ÿ“ก Join Telegram:
http://t.me/ahmadjalaluddin
๐Ÿ“– Facebook:
https://www.facebook.com/Tazkiyatuna
๐ŸŽฅ Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCPbfYwSFHhNk5FOAqH49oLA
๐ŸŒWebsite:
http://tazkiyatuna.com
☎konsultasi via sms:
081297543002


Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Memaknai dan Meneladani Hijrah Nabi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel