Ana Khoirum Minhum
===

Jawaban dari Ustadz  Abdul Somad ketika ditanya oleh Aa Gym di Eco Pesantren Darut Tauhid tempo lalu cukup membuatku paham, betapa sulit perjuangan para Dai dalam menyampaikan dakwah. 

"Kesulitan apa yang paling Ustadz Abdul Somad rasakan selama berdakwah?"

Ustadz Abdul Somad mengambil mic, "Paling berat adalah menyadarkan umat ini yang sering sekali menghabiskan waktu, pikiran dan tenaga untuk membahas masalah khilafiyah. Tentang qunut atau tidak qunut. Tentang pakai usholli atau tidak saat berniat sholat. Kita sering ribut di wilayah itu terus. Berabad-abad kita mengurusi hal itu, bahkan jamaah ustadz satu mengolok-olok jamaah ustadz lain, sampai lupa orang di luar kita sudah melaju cepat, menguasai seluruh aspek kehidupan dunia. Mulai dari politik, ekonomi. Umat islam tertinggal jauh."

"Lalu apa solusinya, Tadz?"

"Untuk menjinakkan buaya, maka para pawang harus berkumpul."

Aa Gym nampak bingung, "Maksudnya gimana, Tadz? Kok pakai ada buaya sama pawang segala?" 

Ucapan itu disambut gelak tawa jamaah. 

"Begini, itu hanya perumpamaan. Buaya ibarat jamaah, sedangkan Ustadz adalah pawangnya. Jika ingin jamaah akur satu sama lain, maka para asatidz harus kumpul. Bisa buat kajian bareng satu panggung. Memperlihatkan pada masyarakat bahwa mereka tak ada masalah antara satu dengan yang lain. Dengan begitu jamaah akan melihat, oh itu ustadz kita aja kumpul. Kenapa kita jamaahnya pada ribut?"

Aa Gym mengangguk. Tanda paham.

***

Miris melihat jamaah di sosmed begitu kasar terhadap Ustadz yang dianggap tidak sejalan dengan golongannya. Padahal Allah-lah nya sama, Nabinya sama, syahadatnya sama, tapi tak segan mereka akan menuduh, "Ustadz Ahli Syubhat." 

Padahal Ustadz yang diolok-olok, merupakan lulusan Al-Azhar Kairo, mendapat beasiswa master di Maroko untuk bidang studi ilmu hadits. 

Sedangkan aku yakin, para pengolok ini, sekolah agama pun cuma ala kadar. Metode dakwah juga tidak pernah belajar. Hanya berbekal nonton video ceramah di Youtube. Langsung merasa paling 'sunnah'. Celakanya, di saat yang sama mereka menyebut muslimin di luar jamaahnya dengan sebutan "Ahlus Syubhat."

Bahkan, andaikan ada orang yang mengikuti kajian 'Ustadz Sunnah', namun juga masih berguru kepada Ustadz di luar golongannya, mereka tak ragu-ragu menjuluki, "Orang bermanhaj lalat. Suka nemplok-nemplok."

Apakah seperti ini ulama salaf mengajarkan sopan santun? Hey, mereka yang kalian olok-olok itu masih muslim, loh. Bukankah muslim dengan muslim yang lain adalah saudara? 

Hebatnya, orang-orang ini juga tak canggung mencibir ustadz, karena cara penyampaian tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. 

Mereka tidak tahu, betapa Ustadz Abdul Somad harus menyiapkan materi-materi lucu sebagai selipan kajian agar pendengar tidak merasa jenuh. 

Mungkin mereka juga takkan mau mengerti, betapa Ustadz Hannan Attaki harus belajar memahami karakter anak-anak muda, mengamati kebiasaan-kebiasaan pemuda zaman now, lalu menyesuaikan tema dan cara tutur agar dakwah dapat diterima. 

Atau Ustadz Adi Hidayat yang berkali-kali berpesan, agar kita berhenti mencari perbedaan, dan fokus pada persamaan. Agar umat ini bersatu. Agar tak ada lagi saling olok sesama muslim. Mau sampai kapan? Mau sampai kapan kita tercerai berai menyikapi perbedaan mazhab? Padahal para pendiri madzhab itu pun saling menghormati, saling memuliakan. 

Para asatidz melakukan itu supaya siraman hidayah bisa tercurah bagi semua orang. Bukan cuma untuk beberapa kalangan. Sukses dunia bersama, masuk surga bareng-bareng. 

Jadi mengapa kita harus membatasi diri dari ilmu? Silakan ambil ilmu dari Ustadz Firanda, atau Ustadz Abdul Somad, atau Ustadz Hannan Attaki,  atau Ustadz Adi Hidayat, atau Ustadz Khalid Basalamah, atau Ustadz Felix Siauw, dan lain-lain. Kita bisa ambil isi ceramah yang baik, dan mengabaikan yang buruk, tanpa perlu menghina Ustadz tersebut. Sebab mereka juga manusia. Lidah mereka bisa terpeleset. Walaupun begitu, jangan sampai satu kesalahan menutup jutaan sumbangsih mereka terhadap dakwah ini. 

Akan aku akhiri tulisan ini dengan mengutip nasehat dari Ustadz Salim A. Fillah, 

"Mungkin kita bisa berhenti sejenak dari kesibukan, lalu bertanya pada diri masing-masing, apakah setelah mengaji kita mulai merasa,  "Ana Khoirum Minhum",  "Aku lebih baik darimu". Jika iya, maka atur ulang niat mengaji Anda. Pasti ada yang salah pada niat itu. Sebab kata-kata "Ana Khoirum Minhum" adalah ucapan yang membuat Iblis terusir dari Surga. Namun berbahagialah bagi Anda yang setelah mengaji, kemudian membuat Anda tersungkur sambil berucap, "Robbana dzolamna anfusaha wa illam taghfirlana watarhamna lanakunanna minal khosirin".  "Ya Allah, selama ini ternyata kami dzolim pada diri sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni dan menyayangi kami, pasti kami akan jadi orang yang merugi." Berbahagialah, karena doa itu adalah sebuah kesadaran yang membuat Nabi Adam mendapatkan kembali kenikmatan yang sebelumnya dicabut oleh Allah di Surga."

Semoga kita mau merenungi nasehat ini... 

*** 

Malang, 22 Juli 2018 
Fitrah Ilhami

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10210100813475767&id=1800528405


Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to " "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel