Cara Indonesia Mengelola Konflik Horizontal

Xinjiang-ku Sayang: Mestinya Pemerintah China belajar Kepada Indonesia


Dalam memahami persoalan di Xinjiang, banyak dari kita hanya terfokus pada satu etnis Uighur saja. Hal ini dapat diwajari, karena memang mayoritas penduduk di Xinjiang adalah etnis Uighur. Dari populasi penduduk Xinjiang yg di tahun 2019 diperkirakan mencapai angka 25 juta jiwa (tahun 2010 mencapai 21.815.815 dan tahun 2015 mencapai 23.600.000), etnis Uighur berjumlah 45,84%-nya.

Namun, sejatinya persoalan di Xinjiang bukan hanya masalah bagi etnis Uighur saja. Karena 'perlakuan khusus' dari pemerintah Republik Rakyat China tidak hanya menimpa satu etnis saja. Melainkan secara keseluruhan. Bahkan, bukan hanya kepada mereka yg menganut agama Islam saja. Melainkan juga penganut agama lainnya.

Bagi kita, termasuk saya, tentunya karena sebagai seorang Muslim, perhatian lebih besar memang akan tertuju kepada perlakuan khusus yg mengakibatkan beratnya saudara-saudara Muslim kita di Xinjiang menjalankan ibadahnya. 

Saya pernah menyampaikan dalam video dan juga tulisan (Mengurai Benang Kusut), bahwa ketika kita hanya terfokus pada etnis Uighur, apalagi dengan membawa tema Turkistan Timur, justru menambah beban masyarakat beragama di Xinjiang. Saya merasakan sendiri beban tersebut ketika di sana.

Sebagai contoh misalnya, ketika tanggal 12 Januari 2019 lalu Aksi Cepat Tanggap (ACT) mengadakan diskusi dan konferensi pers yg bertema Kesaksian Dari Balik Tembok Penjara Uighur yg dihadiri oleh Ketua Majelis Nasional Turkistan Timur, Seyit Tumturk dan Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Almuzammil Yusuf, di Xinjiang perlakuan aparat keamanan menjadi semakin ketat. Dan mengakibatkan intensitas ke-represif-an aparat semakin menjadi. Topik hangat media-media pada tanggal 13 Januari 2019 di Xinjiang di-'spin' menjadi "Tokoh Separatis Uighur mendatangi Indonesia".

Acara di atas adalah baik pada satu sisi, terutama kepada saudara-saudara Muslim Uighur yg sudah berada di luar negeri China. Tapi berdampak negatif pada saudara-saudara Muslim Uighur, Hui, Kazakh, Kirgyz dan suku lainnya yg masih tinggal di Xinjiang. Selain mereka menjadi semakin sulit, timbul nada kebencian terhadap saudara Muslim Uighur dari saudara Muslim etnis yg lain yg tunggal di Xinjiang.

"Gara-gara mereka kita jadi susah," untaian kalimat ini acapkali terlontar ketika saya mengobrol dengan etnis Muslim selain Uighur di Xinjiang.

Ini tentunya tidak boleh terjadi. Kondisi seperti inilah yg justru menurut saya dimanfaatkan oleh pemerintah China untuk semakin melegitimasi 'perlakuan khusus' mereka dengan dalih memberantas radikalisme dan separatisme. Di saat umat Islam di Xinjiang tertanam rasa benci keoada sesama saudaranya, di saat itu pula mereka memanfaatkannya. Bagi pemerintah China, istilah Turkistan Timur itu adalah momok yg membahayakan. Makanya tak jarang para diplomat China hingga termasuk pejabat pemerintah Republik Indonesia di negeri kita menyampaikan bahwa masalah Xinjiang adalah masalah internal penerintah China melawan radikalis dan separatis. Bahkan ada pula orang 'kita' yg menyamakan persoalan di Xinjiang adalah sebagaimana persoalan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Namun, bagi saya ini berbeda. Perlakuan pemerintah China kepada masyarakat Xinjiang tak bisa disamakan dengan perlakuan pemerintah Indonesia kepada GAM dan OPM. Dan menurut saya mestinya pemerintah khususnya aparat keamanan China belajar banyak kepada Indonesia. Jika pun benar ada gerakan separatisme, fokuslah pada kelompoknya tersebut sebagaimana dilakukan oleh TNI/POLRI di Indonesia. Tidak kemudian melebarkan kerepresifannya ke seluruh penduduk di Xinjiang. Tidak semestinya kemudian mengekang hingga melanggar hak-hak asasi manusia masyarakat di sana. Tidak semuanya harus menjadi etnis Han sebagaimana tidak semua orang Aceh atau Papua harus menjadi Jawa.

Di Papua, tempat tinggal saya, tidak ada pembatasan terhadap Gereja. Pun di Aceh, tidak ada pembatasan terhadap Masjid. Masyarakat sipil hidup normal. Menjalankan beragam aktivitasnya, terkhusus aktivitas ibadah dan keagamaannya dengan nyaman. Tanpa takut dilabel radikalis dan separatis.

Terus terang, Otonomi Khusus yg diberikan kepada Aceh dan Papua di pemerintah Indonesia di tahun 2001 perlu dicontoh oleh pemerintah Republik Rakyat China. Sebagai contoh detailnya otonomi khusus tersebut dalam bidang agama (Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001):

1. Kebebasan, membina kerukunan, dan melindungi semua umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yg dianutnya.
2. Menghormati nilai-nilai agama yg dianut oleh umat beragama.
3. Mengakui otonomi lembaga keagamaan.
4. Memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.

Belum lagi dari sisi ekonomi, politik dan pemerintahan. Banyak yg perlu dipelajari oleh pemerintah Republik Rakyat China dari negara kita.

Seandainya, seandainya saja saya jadi Presiden Republik Indonesia, sebagai syarat investasi atau piutang China kepada negara kita, saya akan mensyaratkan adopsi UU Otonomi Khusus Papua dan Aceh untuk daerah otonomi Xinjiang. Agar terwujud perdamaian dan kesejahteraan masyarakat di sana.

Maka, bagi saya mengurai benang kusut persoalan di Xinjiang ini mesti melihat berbagai sisi. Jangan kemudian mengorbankan rakyat sipil pada umumnya yg jumlahnya banyak dan mayoritas Muslim di Xinjiang. Penguraian ini mesti dalam berbagai segi terutama diplomasi. Jangan tergesa-gesa dan mengedepankan faktor emosional saja.

Saya sangat paham dengan 'ghirah' masing-masing kita. Tapi 'ghirah' saja tidak cukup. Mesti diiringi dengan 'siyasah' yg baik. Bagaimana Baginda Rasulullah Muhammad saw berdiplomasi pada Perjanjian Hudaibiyah menunjukkan bahwa kita mesti paripurna dalam berjuang. Kasarnya, antara otot, otak dan nurani mestilah seiring dan sejalan. Jangan pincang.

Tidak cukup pada level lembaga-lembaga kemanusiaan saja. Ini mesti menjadi 'concern' berbagai negara. Terutama negara maju dan berkembang berpenduduk mayoritas Muslim tentunya. 

Dan, Bismillah, dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, saya mengajak sahabat semua bergandeng tangan mengawali membangun solusi yg konfrehensif bagi masyarakat Muslim di Xinjiang (apapun etnisnya) khususnya dan dunia umumnya.

Semoga kondisi masyarakat Muslim di Xinjiang dan seluruh penjuru dunia semakin baik kondisinya. Amin.

Tabik...

#AMI
#SelamatkanDuniaIslam
#LintasanPikiran

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10213188384889142&id=1381090778

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Cara Indonesia Mengelola Konflik Horizontal "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel